Monday, March 11, 2013

my sorceress

Kim Ki Bum POV

“Kim Ki Bum! Kau turun ke Amerika!”
Suara cempreng guru Taeyeon memekik di telingaku. Well, sebenarnya umurnya lebih muda dariku, tapi kemampuannya meremukkan hati manusia hingga membuatnya hancur tidak berbekaslah yang membuatnya menduduki jabatan tertinggi dalam koloni kami.
Berbeda dengan nasib hyung-hyungku dan dongsaengku, aku diturunkan dengan cara baik-baik. Maksudku, aku turun tanpa ada kesakitan apapun, seperti jatuh dari atap rumah atau semacamnya. Saat Taeyeon mengeluarkan perintahnya, aku hanya memejamkan mata selama dua detik, dan setelah itu, aku mendapati diriku berada di puncak atap U.S Capitol. Hm, mungkin karena tingkahku yang jarang macam-macam.
Aku melirik jam tanganku -yang sudah berubah secara otomatis menjadi waktu manusia- menunjukkan pukul dua malam. Tapi jalanan di Washington DC ini masih saja tetap ramai.
Inilah Amerika.
Aku menghembuskan nafas kasar. Kesal dengan tingkah laku manusia. Mereka cenderung terus melakukan pengerusakkan terhadap dirinya sendiri. Padahal mereka tahu konsekuensi kekal yang harus mereka tanggung setelah tubuh mereka yang lemah itu hancur, dan roh mereka terpisah dengan raganya. Setelah itu terjadi,kau tahu, apa yang mereka lakukan? Menangis.
Sungguh kontras dengan keseharian mereka saat di dunia. Selama mereka bernafas, mereka selalu tertawa, dan terkadang tawanya lebih ganas dari seekor serigala sekalipun. Tapi saat mereka sudah tidak membutuhkan oksigen lagi, mereka hanya bisa menangis, berlutut meminta pengampunan.
Miris bukan?
Tapi ada satu hal yang membuatku  tercengang heran mengapa manusia masih bisa hidup. Aku heran, mengapa ia masih bisa hidup dengan sejuta pesakitan dipunggungnya? Mereka yang tersakiti, mereka yang menjadi korban keganasan koloni kami, terkadang masih bisa tertawa menikmati kebodohan dunia. Padahal aku tidak pernah bisa seperti itu. Bagiku, pesakitan adalah pesakitan. Sesuatu yang membekas, tak peduli waktu berlalu, sesuatu yang sudah dihancurkan, tetap saja akan meninggalkan bekas.
Jujur saja, aku benci menyebut diriku sebagai iblis. Dengan sayap hitam legam yang bertengger seperti ini, membuatku terlihat bodoh. Julukan iblis itu terdengar terlalu kejam, jahanam, dan aneh menurutku. Aku lebih suka menyebut diriku sendiri sebagai Kibum. Iya, Kim Ki Bum. Julukan iblis atau malaikat itu hanya tergantung manusia itu sendiri. Jika pihak A merasa di rugikan oleh iblis, maka ia akan menyebut mahluk bernama iblis itu dengan sebutan ‘iblis’. Berbeda dengan pihak B yang diuntungkan oleh iblis, mereka senantiasa menyebutnya dengan sebutan ‘malaikat penjaga’.
****
Aku melayang menelusuri gedung-gedung pencakar langit, dan panasnya terik matahari. Meskipun matahari itu tidak berpengaruh apapun terhadap kulit dan tubuhku, tetap saja membuatku tidak nyaman. Aku benci musim panas.
Dari kejauhan, aku melihat gadis yang sedikit menarik perhatianku. Bukan karena kakinya yang jenjang atau apa, tapi karena gelombang pikirannya sama sekali tidak terbaca olehku, tertebak pun tidak. Aneh.
Dia terus berjalan dengan menjinjing laptopnya, menyapa teman-temannya. Ada yang menyapa dengan tulus, ada yang menyembunyikan kekesalannya. Sekali lagi, itu membuatku tersenyum kecut. Manusia memang ribet. Apa susahnya menunjukkan bahwa ia benci, kecewa, sedih terhadap mahluk lain? Kami terbiasa seperti itu. Menyembunyikan perasaan masing-masing hanya membuat kau lelah sendiri.
Ah, tapi sudahlah, itu urusan mereka.
Hm, sepertinya aku sudah menemukan sasaranku. Gadis itu. Namanya Park In Jung. Dia gadis Korea sebenarnya, tapi sekarang ia melanjutkan studinya di Amerika. Dia Memliki nama western Dee Spencer Goo.
Maafkan aku, gadis manis. Tapi mungkin ini sudah takdirmu untuk menangis.
****
Goo  In Jung POV
There’s something that I should say to you. This is important. Do you have anytime this afternoon? I’ll ask my driver to take you in 02:00 pm. It’s good if you don’t eat before you come in, Diana has cooked you some Korean food. Well, to be honest, she didn’t cook it all by herself. There are a lot of people who help her. I wish you come to my house. However, we’re family, aren’t we?
Keluarga dia bilang? Ada yang lebih meyeramkan dari ini?
Dia bilang aku jangan makan dulu? Apa dia gila? Mana sanggup aku menahan perutku yang sudah keroncongan hah? Orang kaya memang suka yang aneh-aneh.
Maafkan aku, pak bangsawan yang terhormat. Anakmu ini sedang makan siang. Apa anak? Hahahaha, sebutan itu malah membuatku makin terdengar menyedihkan!
****
            Jam dua tepat. Dan benar saja, Daniel Spencer -yang tak lain ayahku- mengirimkan antek-anteknya untuk menjemputku. Rasanya aneh ada mobil mewah terparkir di flat sederhana seperti ini.
Mungkin banyak gadis di belahan dunia ini yang memimpikan hidup seperti seorang Cinderella. Dimana ia menemukan jodohnya yang tak lain adalah bangsawan kerajaan. Aku malah membenci cerita itu setengah mati. Jika saja ibuku tidak menjadi Cinderella jadi-jadian waktu itu, mungkin nasibku tidak akan seperti ini.
Aku tidak pernah membenci ibuku karena telah melahirkanku, hanya saja aku berpikir, jika ayahku bukan dari kalangan bangsawan asing seperti ini, mungkin aku bisa hidup normal seperti teman-temanku yang lain, dan ibuku tidak perlu membanting tulang sendirian untuk menghidupiku. Rasanya menyakitkan melihat ibu pulang ke rumah dengan wajah kelelahan dan peluh di dahinya.
Dan entah karena keluarga bangsawan jaman sekarang sudah amat sangat canggih, ayahku – aku benci memanggilnya ayah, sungguh- bisa dengan mudah menemukanku di Amerika, dia membiayayai seluruh kuliahku.
Aku merupakan hasil yang tidak diharapkan antara ibuku dan lelaki itu , Daniel Spencer. Kalau saja di dunia ini tidak ada peraturan bangsawan yang menjijikan, mungkin nasibku dan ibuku tidak akan senaas ini.
Aku mendesah. Berhenti berpikir seperti itu Goo In Jung! Nyatanya kau sudah hidup di dunia, mau tidak mau kau harus menjalaninya.
****
Kim Ki Bum POV

Aku belum berubah menjadi sosok manusia sekarang. Aku ingin melihatnya dulu dari jauh, penasaran bagaimana gelombang pikirannya akan bereaksi jika bertemu dengan ayahnya. Sejak ia mengetahui bahwa pria bangsawan itu ayah kandungnya, ia membencinya setengah mati. Membuat hidupnya pahit, tak ubahnya seperti empedu. Tapi sulitnya membaca gelombang pikirannya membuat ia semakin terlihat menarik untukku. Mungkin pesakitannya yang ia rasakan bersama ibunya dahulu yang membuatnya seperti ini, sosok manusia kuat yang terbungkus dalam tubuh seorang gadis mungil.
Apa aku sudah bilang padamu? bahwa manusia yang gelombang pikirannya tidak terbaca oleh seorang iblis itu adalah manusia yang kuat?
Kita lihat, seberapa kuatnya ia nanti.
****
Author POV
Mobil mewah itu terus berjalan menyusuri serentetan gedung tinggi, lalu akhirnya berhenti di sebuah rumah yang sangat mewah, memiliki taman yang sangat besar. Ada taman bunga mawar yang terbentang disana. Mata In Jung dimanjakan di dalam perjalanan.
“Kita sudah sampai, nona” Ucap salah satu supir itu, lalu membukakan pintu untuknya.
Yeoja itu tersenyum simpul lalu keluar dari mobil. Ia mulai mengijakkan kakinya di lantai marmer mewah. Ia merasa kakinya dipenuhi beban berton-ton, ia menghembuskan nafas kasar dengan tangan terkepal. Ia mengatur nafasnya sebisa mungkin, menormalkan detak jantungnya. Ia merasa perutnya seperti dikocok, begitu melilit rasanya hingga dia meringis sendiri.
“Kau baik-baik saja nona?” Tanya seorang pelayan wanita yang sedari tadi berdiam di pinggir pintu.
“Aku baik-baik saja, terima kasih.” Jawabnya sembari tersenyum tipis. Tentu saja jawaban itu berbanding terbalik dengan kondisi hatinya saat ini.
Ia terus melangkah, hingga ia sampai di ruang makan. Meja makan yang panjang dan besar itu hanya di duduki oleh dua orang, yaitu Daniel Spencer dan Diana Spencer. Sepasang suami istri bangsawan yang menyambutnya dengan senyuman  hangat. Tidak ada anak-anak mereka disini. Anak-anak mereka kuliah di luar negeri. Yang satu di New Zealand, yang satu lagi tidak ikut orang tuanya hijrah ke Amerika, tetap di Inggris. In Jung tidak pernah membayangkan jika ia akan makan bersama dua orang ini. Ia sama sekali tidak bisa membayangkan, bagaimana jadinya jika anak-anak mereka ikut makan bersamanya. Ia mungkin akan diberi tatapan sinis selama makan, atau bahkan disiram air jus karena merasa di datangi sebuah hama.
Bahkan membayangkannya saja, membuat sup rumput laut favoritnya terasa pahit di kerongkongannya.
“Tu- er.. Dad, kau bilang ada hal yang penting yang harus kau katakan padaku. Apa itu?” Ujarnya to the point. Selain Karena ia sangat bodoh dalam hal berbasa-basi, In jung tidak mau lama-lama duduk di meja makan ini. Hampir saja ia memanggil ayahnya sendiri ‘Tuan Daniel’ tapi mengingat mendiang ibunya yang mewanti-wanti ‘panggil dia ayah, bagaianapun juga, separuh darahnya mengalir ditubuhmu’ ia langsung menggantinya menjadi ‘dad’.
Pria yang sudah menginjak kepala lima itu menghentikan makannya sejenak. Menopang dagunya dengan kedua tangan, dan siku sebagai penahannya. Memandang mata anaknya itu lurus-lurus. Sedangkan Diana, ibu tirinya, memberinya senyuman lembut. Diana Spencer tidak pernah keberatan terhadap kehadiran In Jung.
“Baiklah, Dee Spencer Goo. Kami ingin kau tinggal bersama kami disini.” Pria bermata hijau itu membenarkan posisi duduknya menjadi lebih tegak, “ Sebenarnya ini karena Diana yang mendesak. Ia sangat menyayangimu, kau tahu? Dia malah merasa senang saat mendengar aku memiliki anak keturunan Asia.”
Dahi In Jung mengerut heran. Normalnya, seorang istri akan marah-marah atau bahkan menceraikan suaminya jika ia tahu bahwa suami tercintanya itu memiliki anak selain dari dirinya.
“Kau heran kenapa aku malah menyayangi bukan?” Sahut wanita separuh baya itu, “ Aku telah menjalani operasi pengangkatan rahim tahun kemarin. Karena itulah aku tidak bisa memiliki anak lagi, padahal aku ingin sekali memiliki anak perempuan.” Sahutnya tenang, masih dengan senyuman lembut. “ Dan saat aku mengetahui kau anakku juga, aku senang, karena ternyata kau anak perempuan yang cantik, blasteran asia.”
In Jung diam. Disisi lain ia merasa senang ada yang menerimanya. Tapi disisi lain, ia tersenyum miris. Ia berpikir bahwa, jika ia dilahirkan sebagai anak laki-laki, keluarga megah ini tidak akan mengakuinya sedikitpun. Menganggapnya sampah yang harusnya tidak pernah bereksistensi di bumi.
Toh Ujung-ujungnya, yang mencintainya dengan tulus hanya ibunya. Ibu kandungnya.
In Jung menyelesaikan makan siangnya sambil pura-pura berpikir. Hal seperti ini sudah ia perkirakan dari jauh-jauh hari.
“Maaf dad, aku tidak bisa. Aku pulang dulu.” Katanya seraya membungkuk dan meninggalkan ruangan luas yang membuatnya pengap itu.
****
Kim Ki Bum POV
Hebat!
Sekuat apa sebenarnya anak ini? Gelombang pikirannya seperti benang kusut! Tak ada satupun kata yang bisa aku tebak. Semuanya bercabang-cabang dan berkelit-kelit. Membuatku pusing saja!
Aku memandang cerminku. Mengecek penampilan manusiaku.
Sedikit senyuman, dan semuanya terlihat seperti manusia.
****
Goo In Jung POV
Pulang ke flat, bukannya mendapatkan mood yang lebih baik malah lebih buruk. Landlord (pemilik tanah/flat) datang dan memarahiku habis-habisan karena aku telat bayar uang sewa. Hm, ini karena empat cerpenku ditolak majalah, dan sebagai penulis lepas, aku tidak tahu harus berbuat apa selain berkarya untuk menyambung hidupku.
Dan parahnya, si landlord sialan itu hanya memberiku waktu dua hari untuk beres-beres. Hei bung, bisakah kau bersikap sedikit manusiawi hah?! Menyebalkan.
Apa yang harus aku lakukan?
****
            “Eun Chan~a, bantu aku, ya ya?” Ujarku memohon. Park Eun Chan, satu-satunya teman koreaku yang bisa aku temui di Virginia University. Dia memang sudah seperti adikku sendiri, tapi aku ragu apa dia bisa membantuku atau tidak sekarang ini.
“In Jung~a, mianheyo, aku bukannya tidak mau membantumu, kau tahu ‘kan? Aku sendiri tinggal di asrama kampus, bagaimana aku bisa membantumu? Lagipula aku juga tidak punya uang sekarang ini.” Ujarnya. Yeah, untungnya dia memiliki otak yang cerdas, jadi dia bisa tinggal di asrama universitas dengan resiko belajar dua kali lebih keras daripada aku.
“Tapi, tunggu dulu, aku bisa mengenalkanmu dengan Ki Bum.”
“Ki Bum? Siapa dia?” Setahuku di universitas ini tidak ada orang korea lain selain dosen filsafat.
“Dia murid baru di kelas akting, aku baru mengenalnya  kemarin. Kau tahu? Dia sangat tampan!” Ujarnya antusias, sepertinya ia melupakan Casey sementara ini, “ Aktingnya juga sangat hebat! Dia bisa menangis dalam waktu satu menit jika semua orang diam. Menyeramkan!”
Mau tidak mau aku menaikkan alisku sambil mengangguk. Dia bisa menangis dalam waktu satu menit? Itu hebat sekali.
“Yak! In Jung~a, sebaiknya kau mulai mempertimbangkan kibum untuk menjadi pacarmu~” Godanya sambil menyikutku.
“Apa kau gila? Aku bahkan belum mengenal….”
“Annyeong Eun Chan sshi!” Kalimatku terpotong saat melihat seorang namja menyapa Eun Chan dengan senyuman yang mampu membuatku tidak berkedip beberapa detik.
Apa dia manusia? Ketampanannya tidak manusiawi!
Dia tersenyum padaku, atas dasar kesopanan.
“Perkenalkan, ini sahabatku, Goo In Jung.”
“Goo In Jung imnida.” Kataku seraya membungkuk
`           “Annyeong In Jung sshi, Kim Ki Bum imnida” Ujarnya sambil  menjabat tanganku erat. Astaga! Senyumannya~
“Eh, ngomog-ngomong, kalian ada waktu? Aku baru mendapat royalti pertama dari majalah,mau kopi?” Katanya. Aku baru menyadari sesuatu.
“Apa kau penulis lepas?”
“Oh, bukan, aku fotografer freelance.” Ujarnya, lalu tersenyum sambil mengacungkan kameranya, lalu menjepretkannya padaku.
“Yak! Ki Bum sshi! Apa yang kau lakukan?!”
“Ahahaha, tidak, aku lihat kau memiliki lesung pipi yang cukup manis, dan tadi kebetulan angin menerbangkan rambutmu, jadi ku potret saja.” Ujarnya sambil tersenyum. Namja ini, kapan ia berhenti tersenyum? Senyuman manisnya berbahaya untukku! “Hm, mungkin kapan-kapan kau bisa jadi modelku?” Gumamnya sambil mengotak-atik kamera mahalnya. Terlihat seperti bergumam sendiri, namun ia melirikku dan tersenyum. Mendadak jantungku berdegup kencang.
“Jadi Ki Bum sshi, kapan kita minum kopi? Er… ada sesuatu yang ingin aku bicarakan padamu.” Ujar Eun Chan.
“Hm, jadwalku kosong setelah kelas statistik, jam 11 nanti, bagaimana?”
“Ok!” Timpal Eun Chan, aku tersenyum pada Ki Bum saat ia melambaikan tangannya dan pergi ke kelasnya.
“Ecie… In Jung~ awal yang bagus! “ Ujar Eun Chan menggodaku lagi.
Blasssh  >////<
Wajahku langsung memerah. Oh, jadi ini rasanya cinta pada pandangan pertama….
****
Kim Ki Bum POV
Apa ini?
Jantungku berdetak cepat saat melihatnya dari jarak sedekat ini. Aku tidak mengira bahwa targetku sangat cantik, bahkan lebih cantik dari Taeyeon. Sulit sekali berpura-pura tenang dan berbincang dengannya. Dan Kau Tahu? Ternyata alat manusia ini berguna juga, kamera. Ia bisa membingkai wajah manisnya, sehingga nanti saat aku sudah mengerjakan tugasku dan lupa padanya, aku masih bisa melihat fotonya.
Tapi tunggu, cara pikirku tadi seolah aku tidak ingin pergi darinya.
Perasaan apa ini? Perasaan itu begitu kuat hingga aku melakukan sesuatu yang tidak penting. Perasaan yang begitu kuat dan membuatku seolah ingin terus melihatnya, disampingnya, dan menatap mata bulat kelinci itu dari jarak dekat. Aku bahkan khawatir jika aku menyentuh ujung rambutnya. Aku takut kalau aku tidak bisa melepasnya lagi, dan menawannya seumur hidup disisiku.
Namun, jika aku menyukainya, bukan berarti aku yang menawannya, tapi dia yang menawanku.
Jika perasaan ini terus berkutat di pikiranku, bisa jadi suatu saat perasaan itu akan menjadi perkataan, dan jika hal laknat itu berubah menjadi perkataan –serupa pengakuan- maka ia bisa membakar sayapku. Dan aku akan menua, sakit, bodoh dan… mati.
Menjadi manusia.
****
Kim Ki Bum POV
“Jadi, apa yang ingin kau bicarakan Eun Chan sshi?” Kataku serius, sambil menyesap kopiku.
“Ini menyangkut In Jung.” Ujarnya. Aku tersikap. Hm, mungkin ia akan membicarakan soal itu….
“Ada apa?” Tanyaku, pura-pura tidak tahu. Padahal aku sudah melihat apa yang akan dikatakannya dari gelombang pikirannya.
“ Goo in jung, ia memiliki masalah dengan landlord” Gumamnya, menyesap kopinya, lalu bergumam lagi, “ Ia tidak memiliki tempat tinggal sekarang, aku tidak bisa membantunya, jadi siapa tahu kau bisa membantunya.”
“Tentu saja aku bisa. Aku tinggal sendirian Lagipula aku punya banyak kamar kosong” Ujarku kalem.
“Benarkah? Gomawo Ki Bum sshi! Aku bisa memberitahu In Jung sekarang!”
“Jadi, kapan ia pindah ke rumahku?”
“Besok mungkin”
Aku naik satu langkah. Ah, mungkin tugasku akan cepat berakhir…
****
Goo In Jung POV
Hari ini aku pindah ke rumah Ki Bum. Dia membantuku memindahkan barang dan mengantarkanku sampai ke rumahnya. Aku senang melihat rumahnya yang di dominasi kaca yang berfungsi sebagai dinding rumah. Terlihat sejuk!

“Kau tinggal di rumah ini sendirian, Ki Bum sshi?” Tanyaku , memecah keheningan. Tak ada satupun dari kami yang memulai pembicaraan sejak tadi.
Dia mengangguk, “ Iya, aku hanya sendirian disini. Dan apa kau tidak keberatan serumah denganku?”
“Ahahaha, tentu saja tidak! Aku malah sangat berterima kasih kau mau menampungku.” Kataku. Berhubung kami tinggal di Amerika, jadi kami bisa tenang tinggal di satu atap meskipun kami tidak memiliki hubungan apapun. Sangat berbeda dengan budaya timur.
“Er, jadi, karena kita akan tinggal serumah, kau tidak perlu berbicara terlalu formal padaku In Jung~a” Ujarnya, ia mulai memanggilku In Jung~a.
“Ne, arraseo Ki Bum~a” Ki Bum~a, Ki Bum~a, hei! Rasanya lebih nyaman memanggil dia seperti itu.
****
            Aku kagum melihat interior rumahnya. Yah, meskipun tetap saja lebih mewah tempat tinggal Daniel Spencer. Rumahnya terlihat segar, dan entah karena kepribadiaanya yang rapih dan agak misterius, rumahnya pun begitu. Lucunya, dia menunjukkan kamarnya yang di dominasi warna hitam putih. Mungkin karena dia sendiri yang mendesainnya, jadi dia merasa bangga.
Dan aku tercengang melihat kamarku. Darimana ia tahu bahwa aku penggila warna putih dan soft pink? Terlihat sederhana, namun ini keren sekali!
“Itu foto-foto hasil jepretanmu Ki Bum~a? “ Kataku seraya menyentuh foto-foto yang ditempel begitu saja di dinding.
“Ne, ada fotomu juga! kau ingat saat pertama bertemu denganku? Aku menjepretmu sembarangan. ”
Fotoku di berada di tengah-tengah deretan foto yang ditempel itu. Ukurannya paling besar di antara foto-foto tersebut. Aku menyentuh fotoku dengan takjub. Kenapa ini terlihat bagus sekali? Rambutku berterbangan, ada daun-daun berguguran disekelilinginya. Mataharinya juga pas. Aku lupa kapan terakhir kali aku difoto.
“Ki Bum~a, gomawoyo, jeongmal.”
****
Kim Ki Bum POV
“Ki Bum~a, gomawoyo, jeongmal” Katanya sambil menatap lurus padaku. Untuk kali ini, pertama kalinya, gelombang pikirannya terbaca olehku. Dia benar-benar berterima kasih, tulus, padaku. Dia nyaris menangis, tapi sayangnya bukan menangis karena sedih. Padahal kalau dia menangis, tugasku berhasil.
Yang jelas, karena ucapannya tadi, jantungku berdentum tiga kali lebih cepat.
Tidak boleh! Ini tidak boleh!
****
Goo In Jung POV
Sudah seminggu ini aku tinggal dengannya. Aku akui dia baik, tapi entah kenapa, aku selalu merasa ada yang misterius dari dirinya. Seperti ada sesuatu yang ia sembunyikan di balik senyumannya. Seringkali ia terlihat gelisah jika kami duduk berdampingan. Padahal aku… makin hari makin menyukainya. Aku merasa senang jika melihat senyumannya. Senyumannya, membuat semua terasa ringan. Seakan aku tidak pernah memikul beban berat cobaan hidup.
“In Jung~a!”
Klik!
Aku tersenyum melihat tingkahnya. Selalu begitu. Memanggilku tiba-tiba, lalu memotretku. Lalu ia tersenyum padaku dan pergi. Kami jarang berbincang lama. Tapi ia selalu memotretku, dan yang parah adalah, dia bahkan memotretku saat aku baru bangun tidur. Kau tahu? Rambutku sama menyeramkannya dengan rambut singa -___- menyebalkan!

Kim Ki Bum POV
“Ki Bum oppa!” Seru Taeyeon. Ia muncul tiba-tiba di balik cermin. Mungkin, jika jantungku sama dengan manusia, aku sudah kaget setengah mati.
“Hm?” Timpalku sambil terus mengenakan jaketku.
“Kau keasyikan di dunia manusia. Bukankah kau ingat kalau kau punya deadline, babo?”
“Aku ingat. Tapi aku tidak menjamin bisa melakukan tugas ini, Taeyeon, eottoke?” Kataku. Yah, aku mulai ragu apa aku bisa mengerjakan tugas ini dengan baik. Setiap melihat wajahnya -In Jung- aku ingin memotretnya, merekamnya selamanya diotakku. Keinginan untuk membuatnya menangis menguap begitu saja.
Taeyon bisa membaca pikiranku tanpa aku harus menyebutkannya. Dia hanya tersenyum sinis.
“Hah, kebodohan manusia memang menular.” Katanya kalem, mencibir tepatnya. “ Kalau perasaan itu semakin kuat, nasibmu akan sama dengan Kyuhyun, Kim Ki Bum sshi. Ingat itu.”
Ya, aku tahu. Kyuhyun mencintai targetnya sendiri, lalu api melahap sayapnya, dan ia berubah jadi manusia.
Aku meneguk salivaku. Merasa ngeri sendiri membayangkan hal itu terjadi padaku. Tapi lebih ngeri lagi saat aku harus bereksistensi tanpa melihat wajahnya. Goo In Jung.
****
‘Yak! Ki Bum sshi! Apa yang kau lakukan?!’
‘Kau tinggal di rumah ini sendirian, Ki Bum sshi?’
‘Ahahaha, tentu saja tidak! Aku malah sangat berterima kasih kau mau menampungku.’
‘Ne, arraseo Ki Bum~a’
‘Ki Bum~a, gomawoyo, jeongmal.’
‘Kau tahu? Aku benci cerita Cinderella setengah mati!’
‘Kemarin aku melihat nenek dan kakek berjalan bersama. Mereka lebih keren daripada Rose dan Jack menurutku.’
‘Yak! Ki Bum~a, jangan jepret-jepret terus, aku sedang masak! Kau mau makananku tak layak makan hah?’
‘Aku suka rumahmu Ki Bum~a, banyak kacanya. Jadi aku bisa melihat air hujan dengan jelas’
Aku menyesal menutup mataku untuk tidur.
Bukan istirahat yang aku dapat, tapi malah ucapannya yang terekam jelas di pikiranku. Bukan hanya ucapannya, tapi ekspresinya, baju yang ia kenakan saat itu, segala tentangnya.
Di saat seperti ini, aku lebih memilih memiliki otak manusia yang mudah melupakan.
Aku ingin melupakan semua percakapan bodoh itu demi keselamatan tugasku, tapi disaat bersamaan, aku tidak mau melupakannya sedikitpun. Aku ingin terus mengingat segala hal tentang Goo In Jung dengan detil.
Hm, aku butuh udara segar. Semoga udara malam bisa menormalkan kondisi otakku yang mulai diragukan kewarasannya.
****
            Cahaya bulan malam ini membuatku teringat masa laluku.
Tiga ratus tahun lalu, aku meremukkan hati seorang gadis Mesir, tepat dibawah cahaya bulan. Ia menangis, air matanya mengalir di pipinya. Mata hazelnutnya memandangku dengan tatapan memohon.
Aku mengepakkan sayap hitamku di depan matanya. Ia terlihat syok, lalu perlahan pintu penghubung menuju dunia kami terbuka. Aku melihat tangisannya semakin menjadi. Esoknya, aku mendengar dia menenggelamkan dirinya sendiri di laut merah. Dan aku malah semakin bahagia setelah mendengarnya.
Jahat sekali. Ah, bukankah iblis memang begitu?
Aku memejamkan mataku, tiba-tiba saja aku memimpikan hal itu terjadi pada In Jung.
“Ki Bum~a… Hajima….”
Ia menangis, lututnya goyah dan akhirnya ia berlutut.
            “Hajima….jebal…”
Air mata itu turun dari mata hijaunya. Berkilau diterpa cahaya bulan.
            “Aku tahu kau bercanda ‘kan? Ini mimpi”  In jung bergumam ditengah tangisnya. Bukan berkata padaku, tapi lebih pada dirinya sendiri. Mengobati hatinya yang memang sedang sekarat.
            Lalu keesokan harinya, aku melihatnya melompat dari gedung pencakar langit.
            “Annyeong Ki Bum~a”
           
“ANDWEE! Hah… hah… hah….” Jantungku berdetak tegang, paru-paruku menyempit kapasitasnya, keringat memenuhi dahiku. Mimpi  brengsek apa itu? Sial!
“Ki Bum~a?”
Aku terperanjat kaget mendapati dia beberapa meter dihadapanku. Gaun yang sama. Posisi yang sama. Oh, tidak.
“Ki Bum~a, gwenchanayo?” Mataku terbelalak. Kenapa sama persis?! Tidak! Tidak!
“Aku tidak apa-apa, aku permisi dulu In Jung~a!”
Apapun. Apapun aku lakukan supaya ia tetap bernafas. Apapun, apapun aku lakukan supaya air mata menjijikan itu tidak mengalir dipipinya. Apapun.
****
In Jung POV
Sudah setengah jam aku berguling-guling diatas kasur. Astaga! Aku tidak bisa tidur!
Aku jarang insomnia. Terakhir aku terkena insomnia adalah  saat menunggu hasil ujian kelulusan. Aku sangat panik hingga tidak bisa tidur semalaman. Tapi sekarang kenapa? Aku sudah memejamkan mataku berkali-kali, memutar lullaby-ku sampai berkali-kali, tapi tetap saja aku tidak bisa tidur!
Aku membuka mataku kesal. Lalu secara tidak sengaja, aku menatap bulan yang sedang bulat sempurna. Jendela kamarku membingkai bulatan indah itu dengan sempurna. Ah, sepertinya bagus jika aku duduk-duduk di bangku taman sekarang.
****
Ahahaha, ternyata bukan hanya aku yang insomnia. Ki Bum juga.
Saat aku berjalan menghampirinya, tiba-tiba saja ia berteriak. Sepertinya ia ketiduran disini dan mimpi buruk. Wajahnya pucat, keringat bercucuran di dahinya. Apa jangan-jangan dia sakit?
“Ki Bum~a, gwenchanayo?”
Perlahan aku menyentuh dahinya, memastikan ia demam atau tidak. Tapi dia menatapku seakan aku ini vampire yang beranjak menghisap darahnya. Dahinya dingin sekali! Sampai-sampai aku berpikir ‘aku menyentuh dahi manusia atau menyentuh es balok?’ sungguh demi apapun, dahinya dingin sekali!
Tiba-tiba saja ia beranjak dari kursinya, membuatku terhuyung kebelakang.
“Aku tidak apa-apa In Jung~a, aku permisi dulu!” Ujarnya sambil berlari panik. Ada apa dengannya?!
****
Kim Ki Bum POV
“Yak! Kim Taeyeon! apa yang kau lakukan hah?!” Teriakku pada Taeyeon yang sudah duduk manis di kursi meja belajarku.
“Aku? Aku hanya memberimu gambaran indah, Ki Bum sshi. Bukankah itu yang membuatmu bahagia selama enam ratus tahun terakhir, hm?” Ujarnya tenang sambil memain-mainkan kuku lentik berkuteks hitamnya.
“Kau!” Ujarku geram.
“Apa? Kau ingin membunuhku? Kau tidak bisa Ki Bum~a, ingat, akulah pemimpin tertinggi koloni  ini.”
Kakiku mendadak lemas. Aku terduduk di karpet kamarku, dan menghembuskan nafas perlahan. Perlahan. Yah, aku sudah siap.
“Dengar Kim Taeyeon… aku… aku mencintainya. Aku mencintai Goo In Jung.”
“Terkutuk kau, brengsek!”
Dia menghilang bersamaan dengan api biru yang mulai melahap sayapku. Aku mencium bau daging gosong, dan kusadari itu adalah bau sayapku. Api biru merambat cepat, cepat…
“AAARRRGGGGH!!!”
BLUSSSSH~
Aku bernafas lega saat api brengsek itu hilang bersama dengan sayapku. Menghanguskan baju keatasanku, dan menyisakan luka bakar yang cukup besar dipunggungku.
BRAAK!
Terdengar suara dobrakan. Aku mendongkak lemas, berusaha berbalik ke belakang. Luka bakar dipunggungku benar-benar membuatku susah bergerak!
“Ki Bum~a, ada apa ini? Kau kenapa? Mana kaosmu? Kenapa punggungmu? Astaga! Luka bakarmu besar sekali Ki Bum~a! ada apa ini? Marhaebwa!” Cerocosnya panik.
Anak bodoh, dalam keadaan begini, mana bisa aku menjawab pertanyaanmu! Dasar!
“Tunggu sebentar, aku bawa obat dul…” Kalimatnya terpotong karena dekapanku. Aku mendekapnya erat. Merasa lega dengan ini semua. Akhirnya, aku bisa melihatmu sampai aku mati In Jung~a, bukankah itu bagus?
****
Goo In Jung POV
Apa-apaan anak ini? Astaga, luka bakar dipunggungnya besar sekali! Aku baru saja ingin mengambil obat untuknya, tapi dia malah mendekapku. Ki Bum~a, lukamu butuh pertolongan cepat!
“Ki Bum~a, aku harus mengambil obat dulu, lepas!” Ki Bum malah makin mendekapku kuat.
“Biarkan dulu seperti ini, aku… Lega…”
“Lega? Apa maksudmu?”
“Dengar In Jung~a”Dia membalikkan bahuku, membuatku berhadapan dengan matanya langsung, hidung kami hampir bersentuhan,  “sekarang aku akan merasakan sakit, menua, dan mati seperti kalian. Dan berita bagusnya, aku akan melihatmu sampai aku mati. Bukankah itu bagus?”
“Apa maksudmu hah? Apa maksudnya sampai kau mati? Kau tidak akan mati!”
Dia tersenyum miris dalam sakitnya, dan bodohnya, aku masih bisa terpesona padanya di saat-saat seperti ini, “ Bodoh, bukankah setiap manusia pasti mati, hm?”
“Ki Bum~a, aku… tidak mengerti…” Jujur, aku sama sekali tidak mengerti apa yang bibir tipisnya katakan saat ini. Otakku masih terfokus pada lukanya yang menyeramkan.
“Kalau aku katakan padamu, apa kau akan percaya?” Ujarnya. Punggung tangannya menyentuh pipiku. Melihatnya seperti ini, aku jadi ikut hancur.
“Ya, aku akan percaya apapun yang kau katakan. Sekarang, katakan Ki Bum~a, jebal!”
“Uljima~ dengar, Kim Ki Bum yang kau kenal sebelum punggungnya terluka adalah seorang iblis. Kau percaya?”
Otakku kosong. Aku tidak bisa berpikir apa-apa. Aku rasa, dia terlalu banyak membaca novel fiksi. Tapi tidak mungkin seseorang berkata bohong di kondisi seperti ini.
“Aku,” Lanjutnya lagi, “ Bertugas membuatmu menangis, menintikkan air mata, dan menghancurkan hatimu hingga tak tersisa” Sesaat ia meringis menahan sakit luka di punggugnya “ Tapi bodohnya, aku malah mencintai targetku sendiri. Aku tidak bisa membayangkanmu menangis, aku tidak sanggup membayangkanmu meregang nyawa, aku…”
Aku memotong ucapannya dengan kecupan lembut di pipinya. “Sudahlah, aku percaya. Sekarang, obati dulu lukamu, lalu kau boleh bercerita lebih detil saat lukamu sembuh. Arachie?” Ucapku tenang sambil membalas pelukannya. Sesaat, aku melihat matanya terbelalak, mungkin kaget karena gerakanku  yang tiba-tiba. Ia meregangkan pelukannya, lalu aku katakan…
“Er.. Ki Bum~a, saranghae.”
I love you more than you’ve thought, my sorceress
Aku mengeryitkan dahiku saat mendengar panggilan barunya. Apa? Sorceress? Dia menyamakan diriku dengan ahli sihir wanita? Sejak kapan luka bakar dipunggung berpengaruh pada kerusakan otak?
“Mwoya? Kau menyamakan aku dengan ahli sihir wanita? Dasar gila!”
Aku lihat ia mulai bergetar,Ingin tertawa lepas, tapi rasa sakit dipunggugnya menekannya.
“Tiga ratus tahun lalu, ada penjajahan besar-besaran pada bangsa kami, “ Dia mulai mendongeng. Oke, tapi kapan mengobati lukanya? Tapi aku tidak mau protes, aku ingin kesedihannya mengalir dulu, “ Para sorceress mengekang kami, mengalungkan rantai besi, memperlakukan kami layaknya binatang hina, bahkan succubus dan incubus sampai punah. Kami semua tunduk pada sorceress, hingga tiba hari revolusi bagi kami.”
“Jadi, apa aku sekejam itu? Apa aku sama kejamnya dengan sorceress maksudmu?”
“Baboya~ bukan itu maksudku…”
“Lalu apa?”
“Kau bisa menundukkan aku layaknya sorceress tanpa harus menyakitiku, kau tahu? Kau hebat”
“Tapi, aku yang menyebabkanmu seperti ini. Aku yang menyebabkanmu kehilangan keabadianmu Ki Bum~a”
“Aku melakukannya tanpa dasar pemaksaan, ingat itu.”
“Iya,iya, sekarang, aku obati lukamu oke?”
“Sudah sembuh, lihat!”
“Hah? Bukannya tadi kau bilang kau akan jadi manusia biasa? Kau akan sakit?”
“Tapi bekas terbakarnya sayap akan menghilang dalam waktu beberapa menit saja, karena itu hanya terjadi satu kali dalam hidup kami.”
“Oh…”
“Ehm, ngomomg-ngomong…”
“Apa?” Kataku menyelidik. Perasaanku mendadak tidak enak.
“Kapan kita menikah? Besok atau lusa?” Ujarnya enteng. Aku malah melongo mendengar ucapannya. Anak ini! Apa Dia pikir menikah itu seperti liburan? Bisa dilaksanakan besok atau lusa? Dasar bodoh!
Ah! Aku teringat sesuatu!
“Ki Bum~a”
“Hm?”
“Apa kau punya uang?”
“Ne, wae?”
“Aku… belum membayar uang sewa flatku dua bulan!”
Mendengar ucapanku, dia malah tertawa terbahak-bahak. “Yak! Baboya, kau masih ingat hutangmu itu? Astaga! Apa aku sudah bilang bahwa ayahmu sudah membayar semua tagihannya?”
“A…ayahku? Kau… tahu ayahku?” Ujarku, tercekat. Bagaimana mungkin ia kenal ayahku?
“Hahaha, iya, ayahmu, Daniel Spencer. Iya ‘kan? Oh iya, bahkan aku pernah menangkap gelombang pikirannya. Dia berniat memberimu apartement mewah di Beverly hills jika kau menikah kelak, bukankah itu bagus?”
“Apa?” Ini gila.
“Jadi, agar kita bisa mempercepat proses pemberian hadiah itu, sebaiknya kita menikah besok!”
“Menikah kepalamu! Kuliahku saja belum beres!” Ujarku sambil menggeplak kejam kepalanya.
****